JPU : Mohon Hakim Menolak Nota Keberatan Ahok
JPU : Mohon Hakim Menolak Nota Keberatan Ahok, Keputusan Jaksa Penuntut Umum adalah tidak menerima atau menolak hasil dari nota keberatan Ahok di persidangan.
JPU : Mohon Hakim Menolak Nota Keberatan Ahok |
Sidang kedua yang di lanjutkan pagi tadi mendapatkan persiapan penuh dari Kapolri untuk mengamankan daerah sekitar supaya sidang dapat berjalan dengan baik dan secara apa adanya. Sementara di dalam Gedung Bekas PN Jakarta Pusat telah di padati oleh Majelis Jaksa, Majelis Hakim, Keluarga Terdakwa, Terdakwa dan yang lain sebagainya.
Sidang di awali dengan senyuman pak ahok, Sidang kedua yang membicarakan dan mendengarkan tanggapan Jaksa atas ekspresi Ahok serta di serahkan nya nota keberatan atas tuntutan penistaan agama yang di sebabkan olehnya.
Sidang yang di mulai pada pukul 08:58 Wib ini terlihat pak Ahok mengenakan Baju Batik warna coklat dengan menebarkan senyuman dan mengatakan bahwa dirinya dalam kondisi yang sangat sehat.
Pak Ahok mendengarkan Pembacaan tanggapan Jaksa atas eksepsinya dan Kuasa Hukumnya di dalam persidangan yang berjalan.
Tanggapan jaksa yang dibacakan oleh jaksa Ali Mukartono dan rekannya antara lain jaksa menyebut perbedaan persepsi hukum antara jaksa dan penasihat hukum Ahok tentang terpenuhinya syarat formil serta materiil dalam surat dakwaan adalah hal yang wajar. Jaksa juga menilai dakwaan terhadap Ahok tidak prematur dan penetapan Ahok sebagai tersangka bukanlah pelanggaran HAM.
Jaksa penuntut umum sepakat menolak seluruh eksepsi Ahok dan tim penasihat hukumnya. Jaksa meminta majelis hakim melanjutkan sidang pemeriksaan perkara.
Ini poin-poin tanggapan jaksa
Jaksa penuntut umum Ali Mukartono menyebut perbedaan pendapat hukum adalah hal yang wajar.
"Bahwa perbedaan persepsi hukum antara kami selaku penuntut umum di satu sisi dengan terdakwa dan penasihat hukum di sisi lain, mengenai terpenuhinya syarat formil dan syarat materiil dari suatu surat dakwaan adalah hal yang wajar, karena kepentingan dari masing-masing pihak dalam persidangan ini berbeda," kata Ali saat membacakan pendapatnya dalam sidang di eks gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (20/12/2016).
Jaksa penuntut umum sepakat menolak seluruh eksepsi Ahok dan tim penasihat hukumnya. Jaksa meminta majelis hakim melanjutkan sidang pemeriksaan perkara.
Ini poin-poin tanggapan jaksa
Jaksa penuntut umum Ali Mukartono menyebut perbedaan pendapat hukum adalah hal yang wajar.
"Bahwa perbedaan persepsi hukum antara kami selaku penuntut umum di satu sisi dengan terdakwa dan penasihat hukum di sisi lain, mengenai terpenuhinya syarat formil dan syarat materiil dari suatu surat dakwaan adalah hal yang wajar, karena kepentingan dari masing-masing pihak dalam persidangan ini berbeda," kata Ali saat membacakan pendapatnya dalam sidang di eks gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (20/12/2016).
"Namun, dalam tekad kita semua, adalah menciptakan persidangan yang objektif sehingga dapat tercapai tujuan hukum, demi terciptanya persidangan yang objektif, kami selaku penuntut umum memberikan pendapat atas keberatan yang telah disampaikan oleh terdakwa dan penasihat hukum," sambung Ali.
Menurut Ali, nota keberatan yang disampaikan Ahok dalam persidangan 13 Desember lalu tidak ditujukan secara langsung terkait dengan syarat materiil surat dakwaan. Ali mengatakan nota keberatan Ahok hanya berkisar tentang dia tidak berniat untuk menista agama.
"Secara garis besar dapat kami sampaikan bahwa keberatan yang disampaikan terdakwa tidak secara langsung ditujukan pada syarat materiil surat dakwaan secara keseluruhan tapi hanya seputar niat yang pada pokoknya terdakwa tidak mempunyai niat untuk menista atau menodai agama Islam," ujar Ali.
Jaksa menegaskan dakwaan terhadap Ahok tidak prematur.
"Terdakwa dalam surat penuntut umum didakwa melanggar Pasal 156 a dalam dakwaan pertama, tidak melanggar prosedur sebagaimana Undang-Undang No 1/PNPS/1965 (tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama). Pasal 156 a yang didakwakan terhadap terdakwa bukan prematur," ujar jaksa Ali Mukartono membacakan tanggapan atas eksepsi penasihat hukum Ahok di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jl Gajah Mada, Jakpus, Selasa (20/12/2016).
Tim jaksa juga menegaskan penetapan status tersangka terhadap Ahok bukanlah pelanggaran HAM. Sebab, bersalah-tidaknya Ahok, ditegaskan jaksa, akan diputuskan majelis hakim dalam persidangan.
"Sangat tidak tepat jika penasihat hukum menyatakan pelanggaran HAM penetapan terdakwa sebagai tersangka karena belum ada putusan pengadilan salah-tidaknya penetapan terdakwa sebagai tersangka," ujar jaksa Ali.
Ahok didakwa melakukan penodaan agama karena menyebut dan mengaitkan Surat Al-Maidah 51 dengan pikada DKI. Penyebutan Surat Al-Maidah 51 saat bertemu dengan warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016.
Meski dalam kunjungan kerja, Ahok saat itu, menurut jaksa, sudah terdaftar sebagai cagub DKI. Dalam kunjungan terkait panen ikan kerapu ini, sambung jaksa, Ahok memberikan sambutan soal pilkada DKI dengan membicarakan Surat Al-Maidah terkait pilihan terhadap pemimpin kepala daerah yang berbeda agama.
Dalam dakwaan primer, Ahok didakwa dengan Pasal 156 a huruf a KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 5 tahun penjara. Sedangkan untuk dakwaan subsider, Ahok didakwa dengan Pasal 156 KUHP.
Jaksa penuntut umum menolak seluruh keberatan (eksepsi) Ahok dan tim penasihat hukumnya. Jaksa meminta majelis hakim melanjutkan sidang pemeriksaan perkara.
"Berdasarkan analisa dan uraian yuridis tersebut, seluruh alasan keberatan yang diajukan oleh terdakwa dan penasihat hukum tersebut tidak berkekuatan hukum dan patutlah untuk ditolak," ujar jaksa Ali Mukartono membacakan permohonan atas tanggapan eksepsi dalam sidang lanjutan di PN Jakut, Jl Gajah Mada, Jakpus, Selasa (20/12/2016).
Dalam permohonannya, majelis hakim diminta tim jaksa menolak seluruh keberatan Ahok dan penasihat hukumnya. Majelis hakim juga diminta menyatakan surat dakwaan terkait penodaan agama telah dibuat secara sah menurut hukum.
"Menetapkan pemeriksaan perkara terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dilanjutkan," sebut Ali.
Dalam dakwaan primer, Ahok didakwa dengan Pasal 156 a huruf a KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 5 tahun penjara. Sedangkan untuk dakwaan subsider, Ahok didakwa dengan Pasal 156 KUHP.
Ahok didakwa melakukan penodaan agama karena menyebut dan mengaitkan Surat Al-Maidah 51 dengan pikada DKI. Penyebutan Surat Al-Maidah 51 saat bertemu warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016.
Jaksa penuntut umum Ali Mukartono mengatakan bahwa pernyataan Ahok tentang tidak berniat menista agama tak bisa dibuktikan melalui pernyataan saja. Namun, menurutnya, niat itu harus dinilai dari rangkaian peristiwa yang melatarbelakangi perbuatan itu.
"Bahwa dia tidak mempunyai niat untuk menista atau menodai agama, akan tetapi haruslah dinilai dari rangkaian keterhubungan dari berbagai rangkaian peristiwa yang melatarbelakangi maupun tujuan dari perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa. Hal ini telah dirumuskan dalam surat dakwaan," kata Ali saat membacakan tanggapan atas nota keberatan atau eksepsi Ahok di eks gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (20/12/2016).
Menurut Ali, saat menyampaikan pernyataan tentang Surat Al-Maidah ayat 51 itu di Kepulauan Seribu, kedudukan Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta yang hendak maju lagi sebagai gubernur dalam pilkada. Ali menyebut latar belakang itu tidak dapat dipisahkan sebagai niatan Ahok menyampaikan tentang Surat Al-Maidah ayat 51 itu.
"Dari rangkaian peristiwa itu tidak bisa dipisahkan antara niat kedudukan atau mendudukkan atau menempatkan surat sebagai alat atau sarana untuk membohongi atau membodohi dengan tujuan mengikuti pilkada Gubernur DKI Jakarta," kata Ali.
"Ada-tidaknya niat unsur kesengajaan akan dibuktikan dalam tahap pembuktian dalam persidangan berikutnya," sambung Ali.
Ahok mengaku sangat peduli terhadap kegiatan agama Islam dalam nota keberatannya. Jaksa penuntut umum Ali Mukartono menilai alasan itu tidak bisa diterima sebagai keberatan karena apa yang dilakukan Ahok itu memang merupakan kewajibannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
"Sepanjang hal tersebut menyangkut dalam kebijakan terdakwa selaku gubernur dalam penggunaan dana dari APBD Provinsi Jakarta, adalah merupakan hal yang wajar dan biasa dilakukan pejabat publik di mana saja dan merupakan kewajiban terdakwa selaku gubernur untuk melayani masyarakat yang dipimpinnya," kata Ali saat membacakan tanggapan atas nota keberatan atau eksepsi Ahok di eks gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (20/12/2016).
"Keberatan ini tidak bisa jadi alasan pembenar bahwa terdakwa tidak mempunyai niat menista agama," sambung Ali.
Ali pun mengatakan bahwa keberatan Ahok itu sudah masuk ke dalam materi perkara. Dia menegaskan akan menjelaskan lebih detail tentang hal itu dalam pembuktian.
Jaksa penuntut umum Ali Mukartono mengatakan Ahok seolah-olah sebagai orang yang paling benar. Menurut Ali, pernyataan Ahok yang menyebut kandidat kepala daerah seharusnya adu program menunjukkan sikap merasa paling benar tersebut.
"Dalam kaitan ini, terdakwa telah menempatkan diri seolah-olah sebagai orang yang paling benar dengan mengharuskan kandidat kepala daerah dengan metode yang sama dengan terdakwa, yaitu dengan adu program," kata Ali saat membacakan tanggapan atas nota keberatan atau eksepsi Ahok di eks gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (20/12/2016).
"Sebaliknya, ketika kandidat lain tersebut tidak sepaham dengan terdakwa, termasuk yang menggunakan Surat Al-Maidah ayat 51 dikatakan oleh terdakwa sebagai oknum elite yang pengecut," imbuh Ali.
Menurut Ali, seharusnya parameter yang digunakan dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah adalah peraturan perundang-undangan. Ali menyebut sikap Ahok yang menyebut oknum elite pengecut adalah sikap yang merasa paling benar.
"Harus dikembalikan ke peraturan perundang-undangan sepanjang tidak melanggar peraturan," ucapnya.
Jaksa penuntut umum Ali Mukartono enggan mengomentari nota keberatan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mengutip bukunya yang bersubjudul 'Berlindung di Balik Ayat Suci'. Kutipan buku itu adalah penjelasan Ahok tentang penggunaan Surat Al-Maidah ayat 51 ketika pilkada.
"Tentang keberatan itu, kami tidak bisa memberikan pendapat karena tidak bisa diverifikasi sumbernya, dalam hal ini terdakwa hanya mengatakan hal itu berasal dari jawaban teman-temannya," kata Ali saat membacakan tanggapan atas nota keberatan atau eksepsi Ahok di eks gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (20/12/2016).
"Kami tidak mengomentari lebih jauh pernyataan-pernyataan tersebut, tapi sebaiknya kita semua terus berbuat yang baik untuk negara ini," sambung Ali.
Keberatan Ahok yang dimaksud Ali adalah ketika Ahok membaca kutipan dari buku yang diterbitkan pada tahun 2008 itu. Dia berkaca dari pengalamannya terjun di dunia politik dan mengamati ada satu ayat yang digunakan ketika ramai gelaran pilkada.
Sidang pun akan dilanjutkan pada 27 Desember 2016 dengan agenda pembacaan putusan sela.
0 comments:
Post a Comment